ads
Aku dan kamu duduk berdua di sebuah mesjid, dihalangi oleh sebuah penghalang, tidak menghalangi suaramu untuk kudengar, hanya menghalangi wajahku untuk kau pandang. Aku ditemani oleh kakakku , dan kau ditemani oleh guru mengajimu. Aku tahu kita berbicara berempat, namun ini adalah tentang aku dan kamu, mereka hanya mengantar kita, kepada apa yang orang-orang biasa bilang taaruf.

Jawabanmu selalu tak berubah ketika aku menyatakan tentang hal-hal yang tak aku bisa.

“Apakah kau mau, bersama aku yang tak bisa memasak?”

Kau jawab “Tak apa, kita sama-sama belajar”

“Apakah kau mau, bersama aku yang tak paham bagaimana cara mengurus anak?”

Kau jawab “Tak apa, kita sama-sama belajar”

“Apakah kau mau, bersama aku yang tidak mau bersih-bersih?”

Kau jawab “Tak apa, kita sama-sama belajar”

“Apakah kau mau, bersama aku yang tak paham bagaimana cara menjadi istri yang baik.”

Kau jawab “Tak apa, kita sama-sama belajar”

Aku heran, semua kekuranganku, seolah bukan masalah bagimu, seolah semua bisa dipelajari. Apakah kamu benar-benar ingin menjadi suami yang tidak menuntut apapun dari seseorang yang akan jadi istrimu kelak?

Lantas kini bergantian, giliran mu untuk bertanya padaku. Aku sudah menyiapkan diri, bersiap atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang biasa dilemparkan pada cerita taaruf yang kawanku telah lewati.

“fyuuh” Suara hela nafas terdengar dari balik hijab ini.

“Dik, apakah kamu mau, setelah menjadi istriku nanti, kita mendalami agama, dan benar-benar menjalaninya dengan baik? Apakah kamu mau, nanti kau menggunakan kerudung yang panjang dan sangat lebar, menutup auratmu secara sempurna? Apakah kamu mau, nanti kau menjaga setiap perkataanmu dari mengomentari segala hal bahkan yang menjengkelkan sekalipun? Apakah kamu mau, menjaga amarahmu dan bersabar setiap ada masalah apapun bahkan itu berat sekalipun? Apakah kamu mau, tidak hidup bermewah-mewahan karena hata kita banyak disedekahkan? Apakah kamu mau, menjalankan ibadah shalat bahkan tanpa meninggalkan Sunnahnya sekalipun? Apakah kamu mau, selalu membasahi bibir kita dengan membaca ayat-ayat Allah dan juga dzikir kepadanya? Apakah kamu mau, bangun di sisa sepertiga malam untuk meminta ampunan kepada Allah SWT? Apakah kamu mau dik?”

Aku terdiam, aku bingung, entah harus menjawab apa. Tidak ada satupun hal yang dia tanyakan, sering aku kerjakan. Aku masih belum menutup aurat dengan sempurna, aku masih sering membicarakan orang, ibadahku masih sering bolong, bersedekah saja aku belum mau besar-besar, bangun subuh saja sering kesiangan. Aku bingung, aku takut mengecewakan dia yang sudah memperjuangkanku. Aku tak pernah memikirkan, tuntutannya begitu berat. Aku tahu orang menikah itu untuk ibadah, tapi aku tak menyangka seberat ini konsekuensinya. Aku takut, aku tak sanggup berubah lebih baik.

Aku masih diam, aku tidak tahu harus berkata apa. Langit masjid sempat hening beberapa saat. Hingga akhirnya kau memecah keheningan ruang masjid itu.

“Dik, tenang saja, aku pun sama, belum bisa melakukan semuanya. Tapi sungguh aku ingin, pernikahan ini membawa kita menjadi lebih baik, mendekatkan kita pada sang pencipta. Aku tak ingin, pernikahan ini hanya bertujuan untuk mempertahankan kebahagiaan dunia.” Ucapmu

“Lalu bagaimana jika sekarang aku memang belum bisa apapun sama sekali?” Aku bertanya

Kau jawab “Tak apa, kita sama-sama belajar”

Aku diam dalam kagum. Mengagumimu yang mau mengajakku belajar, untuk menjadi lebih baik.